Aku belum pernah
membaca penelitiaan resmi mengenai hal ini, tetapi aku memperhatikan
kucing hitam cenderung diabaikan. Warna hitam, sepertinya, adalah
warna yang paling sedikit pemilihnya, dan berada di bawah semua
kombinasi warna putih , jingga, abu-abu, corak bercak, maupun
garis-garis. Kucing hitam masih tersangkut stereotip sebagai makhluk
pembawa nasib sial, dan lebih cocok duduk di atas tongkat sihir
ketimbang di bantal empuk. Lebih buruk lagi, di balik kurungan,
kucing hitam menjadi sulit terlihat, karena menyatu dengan warna
bayang-bayang kurungan besi.
Selama ini, aku
selalu merasa tidak adil melihat kucing-kucing hitam yang kukenal dan
kusayang dikembalikan lagi oleh keluarga yang mengadopsi mereka,
hanya karena warna.
Suatu hari, aku
melewatkan beberapa menit membelai seekor anak kucing yang beranjak
dewasa, berwarna hitam, dan bersikap amat manis. Makhluk bertubuh
ramping itu mendengkur senang mendapat perhatianku, dan pelan-pelan
memainkan tanganku dengan cakarnya. Aku membayangkan, betapa
sayangnya anak kucing itu ketika tumbuh besar dan kehilangan
kelucuannya, serta begitu hitam, sampai kebanyakan orang tidak akan
berhenti di depan kurungannya. Lalu, kulihat tidak ada nama yang
tertulis di buku informasinya. Jadi aku pun berpikir sejenak mengenai
nama yang cocok. Aku ingin nama yang akan memberikan “warna” yang
menarik bagi anak kucing ini, sehingga akan mendorong calon
pengadopsi untuk melihatnya. Nama Jellybean muncul di kepalaku.
Aku sungguh-sungguh
terkejut ketika, sore itu, seorang perempuan berjalan melalui ruang
kucing dan berkata, “Jellybean! Nama yang lucu sekali!” Dia
berhenti untuk melihat anak kucing itu dengan lebih jelas, yang kini
sedang memainkan sehelai kertas di dalam kurungannya. Dia bertanya
apakah boleh menggendong Jellybean. Aku membuka kurungan sambil
dengan malu-malu mengakui bahwa si kucing belum mengenal namanya,
karena nama itu baru saja kuberikan beberapa jam sebelumnya. Aku
mengangkat Jellybean dan meletakkan ke dalam gendongan perempuan itu,
dan Jellybean segera bersandar kepadanya, menatapnya di kedua mata,
sambil mendengkur kesenangan. Setelah beberapa menit, perempuan itu
berkata dia ingin mengadopsi anak kucing hitam itu, dan setelah
surat-suratnya beres beberapa hari kemudian, dia membawa Jellybean
pulang.
Aku sangat senang,
tentu saja. Kurasa hal itu adalah keberuntungan si anak kucing, dan
pikiranku pun beralih ke hal-hal lain. Aku sangat terkejut ketika,
beberapa minggu kemudian, si perempuan kembali. Saat dia menemuiku,
aku sedang mengisi ulang mangkuk-mangkuk minum di ruang kucing.
Katanya “Kau membantuku mengadopsi anak kucing hitam beberapa
minggu lalu, ingat? Jellybean? Aku tau kaulah yang menamainya, dan
aku sudah beberapa lama ini ingin mampir dan berterima kasih
kepadamu. Ia kucing yang amat manis. Aku amat sangat menyayanginya.
Tetapi, kurasa, aku tidak akan melihatnya kalau saja namanya tidak
semenarik itu. Namanya cocok sekali untuknya. Ia tidak bisa diam dan
selalu berwarna, aku tau aneh kedengarannya. Yah, pokoknya, aku hanya
ingin mengatakan terima kasih.”
Tentu saja, diperlukan cara-cara yang jauh lebih baik untuk
memastikan setiap kucing memiliki rumah. Namun, untuk Jellybean
hitamku, duduk di tepi jendela di bawah sinar matahari, mencium-cium
kepik yang berjalan-jalan di lantai dapur, dan bergelung di atas
tempat tidur bersama orang yang mengadopsinya, sebuah nama telah
membuat perbedaan besar. “Jellybean” mengundang seorang
perempuan untuk melihat di balik bulu yang berwarna segelap malam dan
menemukan warna-warni pelangi di dalam hati seekor kucing.
No comments:
Post a Comment