Wednesday, January 30, 2013

Jellybean Hitam


Aku belum pernah membaca penelitiaan resmi mengenai hal ini, tetapi aku memperhatikan kucing hitam cenderung diabaikan. Warna hitam, sepertinya, adalah warna yang paling sedikit pemilihnya, dan berada di bawah semua kombinasi warna putih , jingga, abu-abu, corak bercak, maupun garis-garis. Kucing hitam masih tersangkut stereotip sebagai makhluk pembawa nasib sial, dan lebih cocok duduk di atas tongkat sihir ketimbang di bantal empuk. Lebih buruk lagi, di balik kurungan, kucing hitam menjadi sulit terlihat, karena menyatu dengan warna bayang-bayang kurungan besi.
Selama ini, aku selalu merasa tidak adil melihat kucing-kucing hitam yang kukenal dan kusayang dikembalikan lagi oleh keluarga yang mengadopsi mereka, hanya karena warna.
Suatu hari, aku melewatkan beberapa menit membelai seekor anak kucing yang beranjak dewasa, berwarna hitam, dan bersikap amat manis. Makhluk bertubuh ramping itu mendengkur senang mendapat perhatianku, dan pelan-pelan memainkan tanganku dengan cakarnya. Aku membayangkan, betapa sayangnya anak kucing itu ketika tumbuh besar dan kehilangan kelucuannya, serta begitu hitam, sampai kebanyakan orang tidak akan berhenti di depan kurungannya. Lalu, kulihat tidak ada nama yang tertulis di buku informasinya. Jadi aku pun berpikir sejenak mengenai nama yang cocok. Aku ingin nama yang akan memberikan “warna” yang menarik bagi anak kucing ini, sehingga akan mendorong calon pengadopsi untuk melihatnya. Nama Jellybean muncul di kepalaku.
Aku sungguh-sungguh terkejut ketika, sore itu, seorang perempuan berjalan melalui ruang kucing dan berkata, “Jellybean! Nama yang lucu sekali!” Dia berhenti untuk melihat anak kucing itu dengan lebih jelas, yang kini sedang memainkan sehelai kertas di dalam kurungannya. Dia bertanya apakah boleh menggendong Jellybean. Aku membuka kurungan sambil dengan malu-malu mengakui bahwa si kucing belum mengenal namanya, karena nama itu baru saja kuberikan beberapa jam sebelumnya. Aku mengangkat Jellybean dan meletakkan ke dalam gendongan perempuan itu, dan Jellybean segera bersandar kepadanya, menatapnya di kedua mata, sambil mendengkur kesenangan. Setelah beberapa menit, perempuan itu berkata dia ingin mengadopsi anak kucing hitam itu, dan setelah surat-suratnya beres beberapa hari kemudian, dia membawa Jellybean pulang.
Aku sangat senang, tentu saja. Kurasa hal itu adalah keberuntungan si anak kucing, dan pikiranku pun beralih ke hal-hal lain. Aku sangat terkejut ketika, beberapa minggu kemudian, si perempuan kembali. Saat dia menemuiku, aku sedang mengisi ulang mangkuk-mangkuk minum di ruang kucing. Katanya “Kau membantuku mengadopsi anak kucing hitam beberapa minggu lalu, ingat? Jellybean? Aku tau kaulah yang menamainya, dan aku sudah beberapa lama ini ingin mampir dan berterima kasih kepadamu. Ia kucing yang amat manis. Aku amat sangat menyayanginya. Tetapi, kurasa, aku tidak akan melihatnya kalau saja namanya tidak semenarik itu. Namanya cocok sekali untuknya. Ia tidak bisa diam dan selalu berwarna, aku tau aneh kedengarannya. Yah, pokoknya, aku hanya ingin mengatakan terima kasih.”
Tentu saja, diperlukan cara-cara yang jauh lebih baik untuk memastikan setiap kucing memiliki rumah. Namun, untuk Jellybean hitamku, duduk di tepi jendela di bawah sinar matahari, mencium-cium kepik yang berjalan-jalan di lantai dapur, dan bergelung di atas tempat tidur bersama orang yang mengadopsinya, sebuah nama telah membuat perbedaan besar. “Jellybean” mengundang seorang perempuan untuk melihat di balik bulu yang berwarna segelap malam dan menemukan warna-warni pelangi di dalam hati seekor kucing.